Kamis, 12 Januari 2012

PERPUSTAKAAN MASJID


MASJID DAN PEMENCARAN INFORMASI:
TINJUAN TERHADAP PERPUSTAKAAN MASJID SEBAGAI SARANA MENCERDASKAN UMAT

PENDAHULUAN
Masjid merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat,  dimana ada umat Islam dapat dipastikan di tempat itu ada masjid sebagai tempat ibadah kaum muslimin dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT dan sebagai pusat informasi bagi jamaah. Juga masjid merupakan tempat meningkatkan kecerdasan dan pengetahuan umat baik ilmu dunia maupun ilmu akhirat. Hal ini sesuai dengan arah dan tujuan Pembangunan Nasional yaitu adalah pembangunan manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia.
Masjid, dalam kehidupan masyarakat muslim, punya daya magis yang luar biasa dan intensitas kunjungan mereka ke tempat ibadah ini sangat tinggi. Bahkan, fakta sejarah menorehkan, bahwa masjid itu multifungsi: tempat ibadah, musyawarah, silaturrahim, pusat dakwah, benteng pertahanan perang, dan juga sebagai lembaga pendidikan. Hemat penulis, “memanfaatkan” masjid sebagai sarana untuk mencerdaskan umat dengan menjadikan masjid sebagai pusat baca masyarakat, dapat dikategorikan memakmurkan masjid. Selain itu, minat baca masyarakat akan terdongkrak, dan akhirnya kita akan menemukan masyarakat kita sebagai masyarakat yang cerdas, menghargai ilmu pengetahuan, serta memiliki hati yang selalu “terikat” dengan masjid.
Masjid sejatinya tidak hanya menjadi tempat beribadah umat Islam. Menurut J Pendersen dalam bukunya Arabic Book, pada masa keemasan Islam, masjid juga berfungsi sebagai pusat kegiatan inetelektualitas. Pada era kekhalifahan, masjid merupakan sarjana dan Ulama menyusun buku. “Sebelum diterbitkan, seorang penulis atau ilmuwan harus mempresentasikan isi bukunya kepada publik. Mereka melakukannya di masjid dengan cara dibaca atau didiktekan,” menurut Ziaudin Sardar. Masjid dan perpustakaan pada masa kejayaan Islam tak bisa dipisahkan. Sebab, masjid juga memainkan peranan penting lainya yaitu sebagai perpustakaan.
Idealnya semua masjid memiliki perpustakaan sebagai salah satu sarana pendidikan non formal bagi  jamaah masjid dan diharapkan perpustakaan tersebut dapat membantu meningkat pengetahuan dan kemampuan jamaah. Peran strategis ini dapat direalisasikan manakala kita berpegang teguh kepada salah satu ajaran  agama untuk tetap memakmurkan masjid. “Hanyalah yang memakmurkan masjid-masjid Allah adalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan sholat, mengeluarkan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah SWT, merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan yang mendapatkan petunjuk”. <QS. At Taubah : 18>
Dalam tulisan ini akan dibahas tentang secara perpustakaan masjid pada masa kejayaan Islam, dan strategi yang harus dilakukan agar perpustakaan masjid sabagai sarana mencerdaskan umat.

PERPUSTAKAAN MASJID PADA MASA KEJAYAAN ISLAM
SEJARAH MASJID
Secara bahasa masjid berarti tempat bersujud. Istilah “masjid” berasal dari kata sajad, yasjudu yang berarti membungkuk dengan hormat dalam posisi sujud pada waktu sholat ( Al-Munawwir, 1984: 650). Dari kata tersebut berubah menjadi “masjid” yang merupakan kata benda yang menunjukkan arti tempat sujud (isim “makan” dari fi’il “sajada”). Jadi masjid merupakan Baitullah atau rumah Allah. Sehingga orang yang memasukinya disunahkan mengerjakan shalat tahiyatul masjid sebanyak 2 rekaat sebagai penghormatan terhadap masjid.
Masjid pertama yang dibangun oleh Rasulullah SAW (Shihab, 1996 : 461) adalah masjid Quba’, kemudian disusul dengan masjid Nabawi di Madinah. Terlepas dari perbedaan pendapat ulama tentang masjid yang dijuluki Allah sebagai masjid yang dibangun atas dasar takwa (QS. Al-Tawbah (9):108), yang jelas bahwa keduanya masjid Quba dan masjid Nabawi dibangun atas dasar ketakwaan, dan setiap masjid seharusnya memiliki landasan dan fungsi seperti itu. Itulah sebabnya mengapa Rasulullah SAW meruntuhkan bangunan kaum munafik yang juga mereka sebut masjid dan menjadikan lokasi itu tempat pembuangan sampah dan bangkai binatang, karena di bangunan tersebut tidak dijalankan fungsi masjid yang sebenarnya, yakni ketakwaan.
Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad mengajarkan “bumi ini adalah masjid bagimu. Oleh karena itu, tunaikanlah shalat di mana saja kamu berada pada saat waktunya tiba ( Shahih Muslim, Masjid I). Meskipun shalat dapat dilaksanakan di mana saja, dan masjid-masjid sebagai tempat shalat dapat dibangun dimana-mana, pada umumnya aktivitas shalat maupun bangunan masjid dapat dijumpai di kota, desa dan kampung. Di mana kaum muslim bermukim, dalam jumlah yang cukup banyak, usaha pertama yang dilakukan adalah membangun masjid di tengah-tengah mereka. Selama masa penaklukan Islam di Irak dan Afrika Utara pada abad ke 7, tentara muslim biasanya meyediakan tempat khusus untuk dijadikan masjid di tengah-tengah perkemahan mereka, mengikuti contoh Rasullah ketika berada di Madinah. Ruangan shalat tersebut berkembang menjadi bangunan-bangunan yang digunakan sebagai tempat ibadah.

PERPUSTAKAAN MASJID PADA MASA KEJAYAAN ISLAM
Menengok perkembangan perpustakaan sebagai pusat ilmu pengetahuan bagi kaum muslimin dengan masjid sebagai pusat keagamaan dan peradaban pernah terjadi pada masa keemasan Islam  sekitar abad 7 sampai dengan 13 H, kira-kira pada zaman Abbasiyah. Sejarah Islam menyebutkan bahwa misi dinasti Amawiyah  tercatat lebih konsentrasi pada ekspansi perluasan wilayah, sedangkan Abbasiyah memberikan perhatian pada peningkatan mutu kemampuan kaum muslimin dalam berbagai bidang dan lebih menitikberatkan konsentarsi pada pengembangan peradaban Islam (Islamic civilization).
Sejumlah perpustakaan besar yang tercatat dalam lembaran sejarah pada masa itu telah membawa pengaruh positif bagi perkembangan umat dan kejayaan Islam. Kaum muslimin di saat itu, bergerak sangat agresif dalam mendalami dan menyebarkan berbagai cabang ilmu pengetahuan dan hal ini telah menyebabkan Islam menemukan kejayaannya yang luar biasa. Meskipun pada akhirnya semuanya habis termasuk  perpustakaannya, menyusul kemunduran kaum muslimin dari pentas peradaban, termasuk karena ekses kekalahan dalam perang salib. Kita tidak sedang bernostalgia, namun kita mencoba mempelajari faktor-faktor kejayaannya dan mencari kemungkinan mengikuti jejak sejarah itu kembali.
Menurut M. Kailani Eryono (1991:12) ada empat faktor yang dapat menyebabkan kejayaan, yaitu :
1.      Kecintaan umat Islam pada ilmu pengetahuan.
2.      Perhatian Kepala Negara pada pembangunan tradisi keilmuan.
3.      Tingginya motivasi penerjamah dan penulis.
4.      Banyaknya waqaf buku dari para dermawan.
Di masa pemerintahan Khalifah al-Makmum, beliau merekonstruksi masjid yang tidak terpisah dengan perpustakaan. Di Andalusia saja, pada abad  ke-10 terdapat  sekitar 20 perpustakaan. Salah satunya, yaitu perpustakaan umum Cordova, telah mampu menyediakan 400.000 judul buku. Padahal, pada empat abad berikutnya, sebuah perpustakaan yang terlengkap di Eropa pada Gereja Canterbury  hanya mampu menyediakan 1.800 judul buku. Bahkan, perpustakaan umum di Tripoli mampu menyediakan  tiga juta judul buku dan 50.000 eksemplar al-Quran berikut tafsirnya pada abad yang sama. Kini umat Islam ditantang dan bertanggungjawab menjadikan kembali perpustakaan berbasis masjid sebagai media pencerahan dan perncerdasan umat.

PERPUSTAKAAN MASJID SEBAGAI SARANA MENCERDASKAN UMAT
Perpustakaan masjid merupakan perpustakaan umum yang berada di lingkungan masjid. Koleksinya umumnya diutamakan buku-buku ilmu keagamaan (Agama Islam). Bila dipersentasekan, sekitar 60 persen koleksi perpustakaan masjid diisi koleksi ilmu pengetahuan tentang agama islam dan 40 persen berisikan koleksi tentang ilmu-ilmu teknologi. Sedangkan sasaran yang akan dicapai melalui perpustakaan masjid itu, antara lain untuk memantapkan iman dan ketaqwaan kepada Allah SWT dan juga kecakapan serta keterampilan untuk meningkatkan taraf hidup di berbagai bidang kehidupan melalui ilmu pengetahuan.
Perpustakaan masjid diletakkan di serambi kanan atau kiri masjid. Posisi ini agar mudah terlihat dan diakses oleh jama’ah. Tuntutan administrasi jangan sampai membuat jama’ah (yang kemudian dijadikan anggota) mengalami kesulitan dalam mengakses bahan pustaka. Apalagi, jama’ah masjid tersebut dengan mudah dikenali karena memang dari daerah yang tidak jauh dari masjid dimaksud.
Perpustakaan masjid yang ideal seharusnya menjalankan fungsi-fungsi perpustakaan. Fungsi perpustakaan tersebut yaitu sebagai tempat mengumpulkan koleksi baik buku, majalah maupun bentuk koleksi lainnya, mendata koleksi yang masuk, mengkategorikan koleksi kedalam kelompok yang sesuai, menyusun koleksi di rak koleksi sesuai dengan pengelompokkannya agar mudah diakses oleh pengunjung, memelihara dan menjaga kondisi fisik koleksi, mengatur distribusi (peminjaman dan pengembalian) koleksi dan menyediakan fasilitas tambahan lainnya yang mendukung kenyamanan pengunjung.
Kegiatan perlu dilakukan perpustakaan masjid agar menjadi sarana mencerdaskan umat antara lain;
1.    Dari segi koleksi, perpustakaan masjid setidaknya memiliki koleksi sebagai berikut:
a.    Khutbah Jum’at (edisi dua bahasa: Arab dan Indonesia)
b.    Buku-buku yang berisi tentang keutamaan-keutamaan Hari Jum’at, Shalat Jum’at, Shalat Jama’ah, Bulan Ramadlan, Puasa, I’tikaf di masjid, dan lain-lain yang berkaitan dengan ibadah, seperti Rahasia Lailatul Qadar.
c.    Rekaman khutbah jum’at khusus yang diterjemah atau ada penjelasan dalam Bahasa Indonesia. Rekaman ini dalam edisi MP3. Dengan edisi MP3, biayanya akan lebih murah dan lebih mudah di back up oleh jama’ah untuk koleksi pribadi.
d.   Mengoleksi buku-buku Sejarah Islam
e.    Buku biografi Nabi Muhammad dan para ilmuwan Islam agar umat yang membacanya termotivasi untuk mengikuti jejaknya.
f.     Buku pengetahuan umum dan teknologi untuk menambah wawasan umat
g.    Berlangganan Koran. Koran dapat diletakkan di mading dekat parkir masjid atau di halaman masjid yang teduh. Pengurus Perpustakaan bisa mengambil kebijakan berlangganan koran hanya pada hari jum’at saja. Karena pada hari jum’at, anggota perpustakaan (semua jama’ah masjid) banyak yang datang.
2.    Menerbitkan Buletin Jum’at. Buletin ini berisi tema yang beragam sesuai isu teraktual, baik internasional (seperti invasi ke Iraq, dll.), nasional (tentang penetapan 1 Muharram, dll.), atau juga lokal (adanya aliran sesat, dll.). Jika muncul kekhawatiran dengan adanya buletin ini jama’ah tidak akan mendengarkan khutbah, maka redaksi wajib menuliskan peringatan “Dilarang Dibaca Saat Khutbah”. Redaksi Buletin Jum’at juga dapat menerbitkan edisi khusus menjelang bulan ramadlan (misal, berisi faidah shalat tarawih selama sebulan penuh), Hari Raya Idul Fitri (contoh tema: Ber-Idul bersama Nabi, dll.), dan pada hari-hari besar Islam.
3.    Perpustakaan masjid menyelenggarakan kajian tentang Tafsir Al Qur’an, Hadist, Fiqih, Shirah Islam, dan lain-lain, yang pelaksanaannya terjadwal dan pematerinya adalah ulama yang mumpuni dalam bidang tersebut. Dengan kegiataan ini umat akan bertambah pengetahuannya tentang agama Islam. Penyelenggaraan madrasah diniyah atau TPQ yang dilaksanakan oleh pengurus takmir masjid sebagai sarana tranfer ilmu pengetahuan kepada umat.
4.    Memberikan penghargaan kepada anggota yang paling sering berkunjung ke perpustakaan; baik karena meminjam, membaca di tempat, atau memang sebatas “berkunjung”. Bisa juga memberikan penghargaan kepada donatur perpustakaan atau pemasok terbanyak bahan pustaka.
5.    Menyelenggarakan lomba atau kegiatan yang dapat mendongkrak minat baca anggota perpustakaan.

PENUTUP
Masjid pada awalnya adalah suatu tempat untuk beribadah sholat. Namun, pada perkembangannya masjid dijadikan sebagai tempat pemencaran informasi. Bentuk dari pemencaran informasi ini adalah adanya adanya perpustakaan masjid. Perpustakaan ini berperan untuk mengajak umat agar mau membaca seperti pada ayat pertama yang diterima Nabi Muhammad SAW. Membaca koleksi yang ada merupakan salah satu sarana mencerdaskan umat. Pada saat ini, perpustakaan masjid memang belum seperti pada masa kejayaan Islam namun kita sebagai umat Islam harus mempunyai tekad untuk mengulang kembali masa itu dengan memakmurkan masjid dan perpustakaanya dan menajdikan sebagai pusat sumber belajar.






DAFTAR PUSTAKA
Minda Perangin Angin. 2004. Berdialog dengan Buku, dalam “Bukuku Kakiku”. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Mohammad Ali Hisyam. Perpustakaan Rumah Baca. Harian Jawa Pos. 30 April 2006.
Musaheri. 2005.  Membaca Tiang Peradaban. Jurnal EDUKASI (Diknas Sumenep). Edisi No. 03. Hal. 18
Ahmad Syalabi. 1983. Sejarah dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna.
Ahmad Syalabi. 1975. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Badri Yatim. 2000. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo  Persada.
Dep. Agama DIY. 2003. Pedoman Pemberdayaan Masjid. Yogyakarta: Proyek Dep. Agama
Mangun Budiyanto. 2011. Masjid sebagai Pusat Pendidikan Islam (Tinjuan Historis). Dalam mangunbudiyanto.wordpress.com/ diakses pada hari Rabu, 26 Januari 2011 pukul 13.45 wib.

Kamis, 05 Januari 2012

Farook Dauzan Pejuang Perpustakaan


Farook Dauzan Pejuang Perpustakaan
(1925 – 2007)

Dauzan Farook lahir tahun 1925 di Kampung Kauman Yogyakarta. Ayah dari delapan putra ini termasuk pribumi yang mujur. Jenjang pendidikannya berkesempatan menuntut ilmu disekolah Belanda. Pertama di Holands Inlandsche School (FIIS), setingkat SD. Lantas beliau melanjutkan ke Meerl Jitgebreit Lngeronderwijs (MULo) setingkat SMP. Selanjutnya beliau meneruskan pendidikannya ke Alegemen Middlebare School (AMS), setingkat SMA. Beliau juga sempat mengenyam bangku kuliah di Universitrs Gajah Mada (UGM), jurusan Sastra Timur  yang ruang belajarnya di Pagelaran Keraton Yogyakarta. Tetapi beliau kemudian drocp out (DO) karena harus ikut mengangkat senjata guna merebut kemerdekaan Rl dari penjajah. Karenanya, beliau kerap menyebut  dirinya sebagai DRS, alias durung rampung le sekolah (belurn selesai sekolah), sebagai satiran atas jenjang pendidikan kuliah yang tak sempat dituntaskannya.
Kecintaanya terhadap buku bermula sejak kecil, ketika beliau sering membantu ayahnya  H Muhammad Bajuri. Semasa itu beliau menjadi pengelola Taman Pustaka Muhammadiyah atau perpustakaan Muhammadiyah. Saat perang kemerdekaan Dauzan remaja bergabung dengan para gerilyawan dalam pasukan sublfiehrkrelse (SWK) 101. Beliau terlibat kontak fisik di dalam penyerbuan gudang senjata Jepang di Kota Baru pada 6 Juli 1945 dan Serangan Umum 1 Maret 1949. Pada tahun 1975, beliau keluar dari ketentaraan dengan pangkat terakhir Letnan Dua. Lalu, beliau melanjutkan usaha batik orang tuanya pada tahun 1975. Usaha batik yang ditekuninnya tidak begitu lama untuk kemudian memutuskan berhenti dari bisnis tersebut. Karena saat itu bisnis batik di Yogyakarta tengah terpuruk. Beliau lantas menjadi pedagang emas, sekaligus menjadi distributor buku.
Tahun 1989 beliau mulai mendapat uang pensiunan sebesar  Rp.500.000,- per bulan. Pendapatan  tersebut justru membebaninya. Ia seperti mendapat suatu amanat yang besar untuk melaksanakan sebuah tugas dengan sebaik-baiknya demi kemaslahatan umat dan kemajuan negara. Uang itu dihabiskan untuk membeli buku di shopping center, pusat penjualan buku bekas di Yogyakarta, tepatnya di sebelah selatan pasar Beringharjo. Sejak itulah beliau mulai merintis mendirikan perpustakaan dengan meminjamkan buku secara gratis.
Sebenarnya pada masa Belanda, yaitu tahun 1940 sebelum RI merdeka penjajah telah   mempunyai tempat penyimpanan buku. Akan tetapi hanya dapat diakses oleh orang-orang tertentu, yaitu Meneer dan Noni, juga sebagian orang pribumi (golongan priyayi). Di tempat itu, semua koleksinya berbahasa Belanda dan isi buku yang disimpan tidak sesuai dengan budaya Timur. Dari sinilah kemudian Mbah Dauzan terinspirasi untuk mengumpulkan buku dan meminjamkanya dengan gratis pada masyarakat, teristimewa mereka yang kekurangan bahan bacaan dan tidak dapat mengenyam pendidikan secara layak.
Sejak tahun 1993, ia mulai membuka Perpustakaan Mabulir (Majalah Buku Bergilir). Sejak berdirinya hingga saat ini, Mabulir menempati rumah Mbah Dauzan di kawasan Kauman Jogja, persis sebelah barat Masjid Agung Kraton Jogja (Kauman GM I/328 telp. 0274-387337, Yogyakarta). Rumah tua berinterior joglo warisan orangtuanya ini sudah penuh sesak dengan buku dan bahan-bahan bacaan lainnya dari depan hingga belakang, tidak terkecuali kamar Mbah Dauzan. Tidak heran jika untuk sementara waktu Mabulir tidak memberikan pelayanan membaca ditempat.
Dengan sistem multi-level reading, ia berharap buku yang  dipinjamkan dapat dibaca banyak orang. Saat ini, jumlah kelompok bacaan yang dimilikinya mencapai 100-an buah, dengan masing-masing anggota kelompok mencapai 4-20 orang. Mbah Dauzan dengan Mabulirnya membina puluhan kelompok baca, baik yang berada di kota Jogja maupun sekitarnya seperti Bantul, Gunung Kidul, Muntilan, dan Kulonprogo. Di kota Jogja, biasanya mbah Dauzan sendiri yang pro aktif mendatangi komunitas-komunitas tertentu seperti pesantren, masjid hingga TKA/TPA. Untuk kota-kota sekitar Jogja, biasanya sudah ada perwakilan yang secara rutin mengirim orang untuk datang ke Mabulir guna menukar koleksi buku.
Di perpustakaan ini memang peminjam dapat memilih, membaca, sekaligus meminjam buku untuk dibawa pulang secara bergiliran. Semuanya tanpa dipungut biaya. “Saya tidak menarik sepeser pun dana dari peminjam. Walaupun saya selalu defisit setiap bulan untuk membiayai operasional perpustakaan ini,” jelasnya. Sebaliknya, peminjam hanya diwajibkan menjaga koleksi buku-buku tersebut melalui doktrin yang ia berikan dalam label “Amanat Umat”, yang berarti “dari umat, oleh umat, dan untuk umat”. Apabila peminjam menghilangkan atau merusakkan buku, berarti mereka telah merugikan orang banyak (umat). Keyakinan seperti itu terus dijaganya hingga saat ini.“Kami juga tidak menuntut mereka untuk mengembalikan. Berdasar kesadaran, biasanya mereka sendiri yang menggantinya dengan buku lain apabila ada yang hilang. Kalau mereka susah mengembalikan, saya yang harus datang mengambil ke tempat tinggal mereka,” tambahnya. Upaya mendatangi peminjam bukan saja untuk mengambil buku, melainkan juga meminjami. Ia rela berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain, dengan tujuan peminjam dapat memperoleh buku untuk dibaca. Sebagian besar peminjam buku di Perpustakaan Mabulir adalah orang dewasa. Namun, tidak sedikit pula anak-anak muda. Mereka umumnya remaja masjid, penghuni asrama, masyarakat umum, hingga tukang becak sekalipun. Untuk menjaga koleksinya, mulai beberapa tahun terakhir Perpusta kaan Mabulir tidak lagi melayani perorangan. Bagi peminjam baru diharuskan membuat kelompok minimal lima orang. Salah satu anggotanya akan menjadi koordinator yang nantinya akan memfasilitasi peminjaman buku untuk anggota kelompok yang lain. Menurut dia, tidak semua kelompok akan lulus tes. Biasanya, sebelum ditetapkan lebih jauh, ia sendiri yang akan menguji. Dua kali berturut-turut, kelompok itu hanya akan dipinjami tabloid. Baru, setelah keseriusannya terlihat, kelompok tersebut akan dipinjami buku.
Mabulir memiliki perwakilan di lima kota, yaitu Jakarta, Solo, Brebes, Purworejo, dan Magelang. Para pemilik cabang tersebut sebelumnya adalah pelanggannya. Usianya yang semakin tua, membuatnya tidak kuat lagi membaca buku-buku yang ada. Alasan utamanya tidak memiliki kesempatan untuk membaca buku tebal. Kalaupun ada ia hanya membaca pengantar dan sinopsisnya saja. Ketika ditanya siapa yang akan meneruskan perpustakaan itu, sementara tak satu pun dari delapan anaknya yang berminat untuk meneruskan, Dauzan tercenung. “Saya hanya bisa menyebarkan ‘virus‘ untuk mengangkat minat baca masyarakat dengan sistem perpustakaan keliling. “Entah siapa yang meneruskan, bisa siapa saja”, katanya usia sudah senja, namun dedikasinya luar biasa.
Pengabdian Mbah Dauzan ini memperoleh penghargaan diantara dari Rotary CIub of Yogyakarta Malioboro (Vocational Award) tahun 2005, Paramadina Award, IKAPI Yogyakarta sendiri secara khusus memberi gelar kepada beliau sebagai tokoh Buku Yogyakarta. Beliau juga mendapatkan penghargaan Nugra Jasadarma Pustaloka dari Perpustakaan Nasional RI tahun 2005. Dengan dikeluarkannya akta notaries: 0l/ Latief Hanum Jaswadi, SH./08/2006, maka MABULIR resmi dipayungi hukum menjadi Lembaga Swadaya Masyarakat Perpustakaan MABULIR.
Sabtu pagi, ba’da Subuh tanggal 6 Oktober 2007 Dauzan Farouk, meninggal di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Ba’da Asar ini setelah dishalatkan di Masjid Besar Kraton Yogyakarta, Jenazah dimakamkan di Makam Pejuang 45, Gamping Sleman Yogyakarta.
Alamat Mabuir
Jl. Kauman No. G-1/328 Yogyakarta INDONESIA 55122
telp: +62-274-387337
Membaca adalah kebutuhan bagi semua orang tanpa memandang usia, ras, suku, dan jenis kelamin. Perpustakaan Gilir Mabulir hadir secara unik dengan koleksi keagamaan, psikologi, kesehatan, dan ilmu pengetahuan.
SYARAT KEANGGOTAAN
Minimal lima orang dengan satu orang ketua yang bertanggung jawab dalam hal peminjaman dan pengembalian buku.
KOLEKSI BUKU
- Buku-buku agama
- Buku-buku psikologi
- Buku-buku kesehatan
- Buku-buku ilmu terapan
JAM BUKA
Senin-Jum'at: 09.00-16.00 WIB


Sumber rujukan
1.       As’adah, Umi. 2007. Peranan Mabulir dalam Mencerdaskan Masyarakat Kauman. Yogyakarta: Jurusan Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (Skripsi)
2.       Selamat Jalan Pejuang Perpustakaan Keliling Mabulir dalam www.kangbudhi.wordpress.com di akses pada hari Kamis, 14 Oktober 2010 pukul 14.40 WIB.
3.       Pejuang Perpustakaan Indonesia dalam www. muhammadiyah. or.id di akses pada hari Kamis, 14 Oktober 2010 pukul 14.40 WIB.
4.       http://kutubuku.,info/?p=35,  di akses pada hari Kamis, 14 Oktober 2010 pukul jam 13.00 WIB